Flash News
Mail Instagram Pinterest RSS
MENU UTAMA

Buku 'Agama Pelacur' Dirilis

istimewa
  • Judul : Agama Pelacur; Dramaturgi Transendental
  • Penulis : Prof Dr Nur Syam, MSi
  • Penerbit : LkiS, Yogyakarta
  • Cetakan : Februari 2011
  • Tebal : xviii + 200 halaman
  • Peresensi : RA Abdullah*)

KOMPAS.com — Hingga kini pelacur masih dilekati stigma buruk yang mencolok. Berbagai tudingan negatif pun kian semerbak, mulai dari masyarakat, pemerhati sosial, hingga kaum agamawan. Tak heran jika eksistensi pelacur tersisihkan dalam kancah kehidupan ini.

Kehadiran pelacur semakin terpojok ketika banyaknya media yang mengolak-alik laku hidupnya dengan begitu rendah, yakni sebagai pelaku dunia hitam. Pelacur pun acap disebut amoral, sesat, bahkan jauh dari keyakinan beragama (Tuhan). Namun, tahukah kita, apa yang sebenarnya dirasakan pelacur ketika melakukan hubungan seksual? "Jijik dan rasa bersalah." Ya, sebab pelacur bukanlah profesi yang diinginkan dengan sepenuh hati. Pelacur adalah profesi bagi orang-orang yang terlempar dari pergulatan kuasa sehingga mengalami ketidakberuntungan nasib dan kehidupan yang tersudut secara sosial, budaya, dan politik. Tindakan yang mereka jalani merupakan keterpaksaan sebagai akibat dari ketiadaan pilihan yang nyaman bagi kehidupannya.

Banyak buku yang membahas ihwal pelacuran, tetapi berbeda dengan buku Agama Pelacur; Dramaturgi Transendental karya Nur Syam ini. Dalam buku tersebut, penulis mengaitkan pelacuran dengan laku kerohanian atau keyakinan beragama (Tuhan). Kota Surabaya menjadi tujuan lokasi penelitian yang—konon—dikenal sebagai tempat prostitusi terbesar se-Asia Tenggara.

Menurut Nur, pelacur tidak cukup hanya dilihat dan atau dinilai dari kulit luarnya. Simbol atau kulit luar belum tentu menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Sebagai contoh, para politisi di negeri ini. Banyak para elite politik yang tampak suci, sopan, dan bijak bila dilihat dengan mata telanjang. Namun jika ditengok lebih dalam lagi, ternyata mereka mengeksploitasi uang negara, mengabaikan amanat rakyat, bahkan mencederai nurani rakyat. Simbol dijadikan "tameng" di balik laku kejahatan mereka.

Artinya, simbol tidak bisa menjelaskan yang tersirat. Dengan demikian, pelacuran yang acap dipandang hina-dina, hitam, dan sesat tidak menutup kemungkinan malah lebih baik/mulia daripada elite politik yang terlihat suci tersebut. Hal ini diperkuat dengan wawancara yang dilakukan peneliti. Dalam wawancara, sang narasumber (pelacur) secara gamblang menyatakan rasa berdosa atas tindakan lacur-nya itu. Sang narasumber juga mengungkapkan bahwa dia mungkin telah dimurkai Tuhan. Oleh sebab itu, tidak sedikit dari mereka yang berniat mengakhiri pekerjaannya tersebut dengan beralih profesi lain yang mungkin dipandang mulia—minimal lebih baik—di mata "Tuhan" dan masyarakat.

Bahkan, di sela-sela pekerjaannya itu, masih banyak dari para pelacur yang melakukan ritual keagamaan: sembahyang, sedekah, infak di masjid, aktif di pengajian, dan sebagainya. Mereka juga menyatakan bisa membaca Al Quran, tahlilan, dan atau yasinan (hlm 153-167).

Meskipun secara keseluruhan Nur memandang pelacur dari sisi positif, bukan berarti ia mendukung maraknya tindak pelacuran di negeri ini. Nur sebatas mengejewantahkan bahwa tidak sepenuhnya dunia pelacur identik dengan hitam. Di balik keburukan pelacur tersimpan suatu ketulusan; dalam canda tawanya tersembunyi kepedihan yang mendalam.

Kompas.com - www.musikji.net

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih telah memberi komentar.